Home / menghasilkanduit / Legalnya judi di indonesia

Legalnya judi di indonesia

legal

Perjudian di Indonesia adalah topik yang selalu memicu perdebatan sengit. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi moralitas, perjudian dianggap sebagai aktivitas yang bertentangan dengan agama, norma, dan ideologi negara seperti Pancasila. Namun, sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah melegalkan perjudian di masa lalu untuk tujuan tertentu, meskipun saat ini praktik tersebut dilarang keras. Artikel ini akan menelusuri kapan Indonesia pernah melegalkan perjudian, konteks di balik keputusan tersebut, kontroversi yang muncul, serta status hukum perjudian pada April 2025.

Praktik perjudian di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa kolonial Belanda, perjudian sudah ada dalam berbagai bentuk, seperti judi dadu, kartu, dan sabung ayam, yang sering diperkenalkan oleh komunitas Tionghoa. Pada masa itu, perjudian tidak diatur secara ketat dan lebih dianggap sebagai bagian dari tradisi sosial tertentu. Namun, setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengambil sikap tegas terhadap perjudian, terutama karena dianggap merusak moral bangsa.

Meskipun demikian, ada periode di mana pemerintah justru melegalkan perjudian untuk tujuan tertentu. Salah satu momen paling awal terjadi pada 1960-an, ketika pemerintah di bawah Presiden Soekarno membentuk Yayasan Rehabilitasi Sosial untuk mengelola “undian berhadiah.” Undian ini diadakan sebulan sekali dengan hadiah besar, mencapai 500.000 rupiah—jumlah yang sangat signifikan pada masa itu—dan hadiah terkecil berkisar antara 10 hingga 20 rupiah. Tujuan utama undian ini adalah mengumpulkan dana untuk kepentingan sosial, seperti pembangunan infrastruktur dan bantuan masyarakat miskin.

Namun, Soekarno sendiri menentang keras perjudian. Pada 1965, ia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 113 yang melarang “Lotere Buntut” dan bentuk perjudian lainnya, dengan alasan bahwa praktik tersebut merusak mental bangsa. Langkah ini menunjukkan ambivalensi dalam kebijakan pemerintah: di satu sisi, undian berhadiah dilegalkan untuk tujuan sosial, tetapi di sisi lain, Soekarno melihat dampak negatifnya terhadap masyarakat.

Momen paling terkenal ketika Indonesia melegalkan perjudian terjadi pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966–1977). Ketika Ali Sadikin menjabat, Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan: anggaran daerah hanya Rp66 juta, 60% anak usia sekolah tidak bersekolah, dan sebagian besar penduduk hidup di permukiman kumuh. Untuk mengatasi krisis ini, Ali Sadikin mengambil langkah kontroversial dengan melegalkan perjudian, termasuk mendirikan kasino pertama di Jakarta di kawasan Petak Sembilan dan meluncurkan Nasional Lotere (Nalo).

Keputusan ini didasarkan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Tanggung Jawab Pemerintah Daerah, yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur aktivitas seperti perjudian. Ali Sadikin memanfaatkan pajak dari perjudian untuk membiayai pembangunan Jakarta. Hasilnya sangat signifikan: dalam 10 tahun, anggaran DKI melonjak menjadi lebih dari Rp89 miliar, memungkinkan pembangunan sekolah, puskesmas, pasar, dan infrastruktur lainnya. Jakarta berubah menjadi kota yang lebih modern dan layak huni.

Namun, langkah ini menuai kritik keras. Banyak pihak, terutama dari kalangan agama dan masyarakat konservatif, menilai bahwa legalisasi perjudian bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Meskipun Ali Sadikin berhasil membuktikan bahwa perjudian dapat memberikan manfaat ekonomi, tekanan sosial dan politik akhirnya memaksa pemerintah pusat untuk mengambil tindakan lebih tegas terhadap perjudian.

Pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, perjudian kembali dilegalkan dalam bentuk yang lebih terstruktur. Pada 1985, pemerintah meluncurkan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), sebuah bentuk undian berhadiah yang diatur oleh Kementerian Sosial. SDSB dianggap sebagai cara untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan sosial dan olahraga, seperti pembiayaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Selain SDSB, pemerintah juga memperkenalkan Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), yang berfokus pada taruhan olahraga, khususnya sepak bola.

Sebelum meluncurkan program ini, Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk melakukan studi banding ke Inggris, yang telah memiliki sistem undian berhadiah yang terstruktur. Pemerintah berharap dapat menciptakan model undian yang tidak memicu efek negatif perjudian. Namun, kenyataannya, SDSB dan Porkas justru menjadi ajang perjudian massal. Kupon SDSB menyebar luas hingga ke pelosok, dan banyak masyarakat menengah ke bawah, seperti petani dan buruh, terjebak dalam praktik ini dengan harapan memenangkan hadiah besar, yang berkisar antara 60.000 hingga 80.000 rupiah.

Protes terhadap SDSB dan Porkas semakin meningkat pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Kalangan ulama, cendekiawan, dan mahasiswa menentang keras program ini, menganggapnya sebagai bentuk perjudian terselubung yang merusak moral masyarakat. Pada 1991, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta memprotes penerimaan dana SDSB oleh kampus mereka, dan beberapa kios penjual kupon SDSB di Jakarta bahkan dibakar oleh massa. Akhirnya, pada 24 November 1993, Menteri Sosial Endang Kusuma Inten Soewono mengumumkan penghentian SDSB dan program undian berhadiah lainnya.

Langkah tegas untuk melarang perjudian di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. UU ini secara eksplisit menyatakan bahwa segala bentuk perjudian dilarang karena bertentangan dengan agama, moral, dan Pancasila. Namun, seperti yang telah disebutkan, praktik legalisasi seperti SDSB dan Porkas masih terjadi setelah UU ini diterbitkan, menunjukkan adanya inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah.

Pada 1993, setelah gelombang protes besar-besaran, pemerintah akhirnya menghentikan semua bentuk undian berhadiah yang dianggap sebagai perjudian terselubung. Sejak saat itu, perjudian dalam segala bentuknya menjadi ilegal di Indonesia. Pasal 303 KUHP memperkuat larangan ini dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp25 juta bagi pelaku perjudian. Selain itu, dengan munculnya perjudian online, UU ITE (Pasal 27 ayat 2) juga mengatur bahwa penyebaran konten perjudian daring dapat dikenakan hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

Hingga April 2025, perjudian tetap ilegal di Indonesia. Pemerintah terus berupaya memberantas praktik ini, terutama perjudian online yang semakin marak sejak pandemi COVID-19. Pada 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melaporkan telah memblokir lebih dari 805.000 situs judi online, dan Satgas Judi Online yang dibentuk pada tahun yang sama telah menangkap lebih dari 2.000 pelaku. Namun, tantangan besar tetap ada: akses internet yang luas dan literasi digital yang rendah membuat masyarakat rentan terhadap iklan judi online, yang sering dipromosikan melalui media sosial seperti Instagram dan YouTube.

Wacana untuk melegalkan perjudian kembali muncul pada 2020, ketika Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengusulkan legalisasi kasino untuk mendongkrak ekonomi pasca-COVID-19. Ia berargumen bahwa banyak orang kaya Indonesia berjudi di luar negeri, seperti di Singapura dan Makau, sehingga legalisasi dapat membawa devisa bagi negara. Namun, usulan ini ditolak keras oleh berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menegaskan bahwa perjudian haram dan bertentangan dengan nilai-nilai agama serta Pancasila.

Meskipun sejarah menunjukkan bahwa legalisasi perjudian pernah memberikan manfaat ekonomi, seperti pada era Ali Sadikin, realitas sosial dan budaya Indonesia membuat legalisasi sulit diterima. Mayoritas masyarakat Indonesia, yang mayoritas Muslim, memandang perjudian sebagai perbuatan haram. Selain itu, dampak negatif perjudian—seperti kecanduan, kerugian finansial, dan peningkatan kejahatan—telah terbukti merusak struktur sosial masyarakat.

Di sisi lain, argumen pendukung legalisasi, seperti potensi pendapatan pajak dan pengendalian aktivitas ilegal, tidak dapat diabaikan. Negara-negara seperti Singapura dan Makau telah berhasil mengelola industri perjudian dengan regulasi ketat, menghasilkan miliaran dolar setiap tahun. Namun, Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda, dengan nilai-nilai moral dan agama yang sangat kuat, sehingga legalisasi dapat memicu konflik sosial yang lebih besar.

Indonesia pernah melegalkan perjudian pada beberapa periode, terutama pada 1960-an melalui undian berhadiah, pada era Ali Sadikin (1966–1977) dengan Nalo dan kasino, serta pada masa Orde Baru melalui SDSB dan Porkas (1985–1993). Namun, sejak 1993, perjudian dalam segala bentuknya dilarang keras, dan hingga April 2025, status ini tidak berubah. Meskipun ada wacana untuk melegalkan perjudian demi keuntungan ekonomi, resistensi dari masyarakat dan nilai-nilai budaya yang kuat membuat langkah tersebut sulit terwujud. Untuk saat ini, pemerintah lebih fokus pada pemberantasan perjudian, terutama daring, sambil meningkatkan literasi digital masyarakat untuk mencegah dampak buruknya.

Tagged: